WELCOME TO ANAK RANTAU BLOG'S

Sunday, May 15, 2016

PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN CONTOH KASUS

HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN

1. Hak-hak konsumen

Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.

Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
· Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
· Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta            jaminan yang dijanjikan .
· Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
· Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
· Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan  konsumen secara patut.
· Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
· Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
· Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima  tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
· Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang.

Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan terminologi ” persaingan curang”.Di Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP.

Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi konsumen, bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya.

2. Kewajiban Konsumen

 Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen,
 Kewajiban  Konsumen adalah :
· Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang  dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
· Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
· Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
· Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.


HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA

1. Hak Pelaku Usaha
 Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha  sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
· Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar  barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
· Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
· Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
· Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak  diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
· Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

2. Kewajiban Pelaku Usaha
 Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
· Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
· Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau  jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
· Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
· Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan  ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
· Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa  tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang  diperdagangkan;
· Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian  dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
· Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima  atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

 Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik  dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus  dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan  diterima pelaku usaha.

 Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak  bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan  kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif,  tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.

PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA

Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
1. larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2. larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3. larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)

Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :

  1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
  3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
  4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
  5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
  6. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
  7. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
  8. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.
  9. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.
  10. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.

Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:

  1. (2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
  2. (3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
· Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
· Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
· Bekas: sudah pernah dipakai.
· Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi).

Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.

Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:

  1. (4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA

Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.

Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.

Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19

Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
· Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan
· Cacat barang timbul pada kemudian hari.
· Cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.
· Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.
Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan

SANKSI BAGI PELAKU USAHA
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Sanksi Perdata :
Ganti rugi dalam bentuk :
-Pengembalian uang atau
-Penggantian barang atau
-Perawatan kesehatan, dan/atau
-Pemberian santunan

Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25

Sanksi Pidana :

Kurungan :
-Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
-Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f

* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
* Hukuman tambahan , antara lain :
o Pengumuman keputusan Hakim
o Pencabuttan izin usaha.
o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa.
o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa.
o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .

CONTOH KASUS

sengketa perlindungan konsumen antara T. Imelda Wijaya melawan PT. Anugrah Bina Karya. Sengketa tersebut juga telah berkekuatan hukum tetap sehingga bisa digunakan sebagai acuan. Pada kasus ini hal pokok yang diangkat adalah tentang adanya Klausula Baku yang tercetak di karcis parkir.

Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen[1].

Dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ketentuan pencantuman klausula baku diatur secara rinci pada pasal 18, yang menyebutkan bahwa :

(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.

Sebenarnya pencantuman klausula baku dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak dilarang, sepanjang tidak menyalahi aturan pencantuman klausula baku yang diatur pada pasal 18. Ketentuan tersebut dibuat dalam kerangka untuk melindungi konsumen yang masuk dalam kategori pihak lemah dari tindakan pelaku usaha (korporasi)[2].

Klausula baku bila dicermati merupakan perjanjian sepihak yang seringkali merugikan konsumen dan menempatkan konsumen pada posisi tawar (bargaining position) yang lemah. Jika dilihat dari hukum perjanjian Indonesia, pada dasarnya syarat sah suatu perjanjian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) adalah sebagai berikut :

a. adanya kesepakatan;

b. cakap;

c. atas suatu hal tertentu; dan

d. dikarenakan suatu sebab yang halal.

Selain itu berdasarkan pasal 1338 ayat 3 BW disebutkan pula bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sedangkan klausula baku seringkali tidak memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian seperti yang diuraikan diatas. Adanya klausula baku dalam bukti transaksi mengindikasikan bahwa pelaku usaha tidak beritikad baik untuk melindungi hak-hak konsumen dengan berusaha untuk melepas segala tanggung jawab setelah transaksi dan itikad baik pelaku usaha ukurannya bisa menjadi sangat subyektif.

Pencantuman klausula baku eksonerasi tidak dapat menghilangkan hak konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi daripada pelaku usaha yang telah membuat klausula baku eksonerasi[3]. Jika permintaan yang diajukan konsumen tidak mendapatkan tanggapan yang layak dari pihak-pihak terkait maka konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum baik melalui Pengadilan maupun luar Pengadilan oleh BPSK. Para pelaku usaha yang masih mencantumkan klausula baku eksonerasi dapat dikenai sanksi perdata bahwa perjanjian standart tersebut batal demi hukum dan pelaku usaha wajib merevisi agar sesuai dengan pasal 18 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Klausula Baku Pada Kartu Parkir PT. Anugrah Bina Karya

Salah satu bentuk klausula baku yang dilarang dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah Pengalihan tanggung jawab dari pelaku usaha kepada konsumen. Pada Kartu parkir yang dibuat oleh PT. Anugrah Bina Karya tercantum klausul bahwa Pengelola Parkir / PT. Anugrah Bina Karya / Tergugat tidak bertanggung jawab terhadap hilangnya barang dan kendaraan pemakai parkir, dalam hal ini adalah Penggugat. Selain itu aturan tersebut telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh Tergugat selaku pelaku usaha jasa parkir dan dituangkan dalam kartu parkir yang berlaku mengikat dan wajib dipenuhi oleh Penggugat sebagai konsumen jasa parkir.

Berdasarkan fakta hukum tersebut, maka klausula yang tercantum dalam kartu parkir tersebut dapat dikategorikan sebagai klausula baku yang dilarang sebagaimana ketentuan pasal 18 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999. Disamping itu kesepakatan sepihak yang dilakukan oleh Tergugat dengan mencantumkan klausula baku juga melanggar asas-asas umum perjanjian yang berlaku secara universal. Asas-asas tersebut terdapat baik secara eksplisit maupun dalam sifatnya yang implisit dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan, yaitu :

a. Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi), dimana para pihak bebas menentukan isi serta persyaratan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, baik ketentuan umum maupun perundang-undangan.

b. Asas konsensualisme (persesuaian kehendak). Yaitu timbulnya berdasarkan perjumpaan atau persesuaian kehendak, tanpa terikat dengan bentuk formalitas tertentu

c. Asas kepercayaan

d. Asas kekuatan mengikat, yang akan mengikat bagi para pihak, tidak saja untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan tetapi juga untuk yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh suatu kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang

e. Asas persamaan hukum

f. Asas keseimbangan, yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian secara berimbang dan adil

g. Asas kepastian hukum

h. Asas moral

i. Asas kepatutan

j. Asas kebiasaan

Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti[4]. Selain itu berdasarkan pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan pula bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Pemasalahan selanjutnya adalah seberapa besar tanggung jawab Tergugat terhadap hilangnya mobil dan barang-barang Penggugat yang masih berada dalam areal parkir yang dikelola oleh Tergugat.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga telah diatur mengenai ganti rugi apabila pelaku usaha melakukan cidera janji atau wanprestasi. Disebutkan bahwa pelaku usaha juga berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan oleh konsumen tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Dalam pertimbangan hukumnya, hakim mengkualifisir perjanjian antara Tergugat (pengelola parkir) dengan Penggugat (konsumen) sebagai perjanjian penitipan. Sehingga Tergugat harus bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan kendaraan milik Penggugat. Menurut hakim, bisnis perparkiran tidak sekedar bisnis penyedia jasa, melainkan bisnis yang menjanjikan keuntungan besar bagi pengelola parkir. Karenanya itu maka di sisi lain jaminan perlindungan hukum kepada konsumen parkir juga harus lebih diseimbangkan.

Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, terbukti bahwa Tergugat telah membiarkan kendaraan Penggugat di bawa keluar areal parkir oleh orang lain tanpa menggunakan kartu parkir atau Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana lazimnya jika kartu parkir hilang. Artinya, sikap ketidaktelitian dan ketidakhati-hatian Tergugat telah membuat Tergugat melanggar kewajiban hukumnya untuk menjamin keamanan kendaraan milik Pengguat. Menurut Hakim, perbuatan melawan kewajiban hukumnya sendiri juga merupakan perbuatan melawan hukum atau onrechtmatigedaad.

Dengan demikian, karena Tergugat telah nyata-nyata melakukan wanprestasi sehingga menimbulkan kerugian pada Penggugat, maka adalah adil jika Tergugat harus memberikan ganti rugi kepada Penggugat. Hal ini merupakan tanggung jawab Tergugat dalam memenuhi asas keseimbangan dalam perikatan. Meskipun Penggugat sudah memperoleh ganti kerugian dari klaim asuransi.

Berdasarkan ulasan tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Klausula yang tercantum dalam kartu parkir yang dikelola oleh PT. Anugrah Bina Karya adalah merupakan klausula baku yang termasuk dilarang oleh Undang-Undang Perlindungan konsumen, sehingga klausula tersebut batal demi hukum.
Perjanjian antara Tergugat (pengelola parkir) dengan Penggugat (konsumen) adalah perjanjian penitipan. Sehingga Tergugat harus bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan kendaraan milik Penggugat.
Oleh karena terbukti bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi dan menimbulkan kerugian pada Penggugat, maka Tergugat harus memberikan ganti rugi kepada Penggugat.

Sebagai catatan tambahan, ada beberapa perda yang bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen berkaitan dengan Klausula Baku, khususnya mengenai tanggung jawab pengelola parkir. Akan tetapi karena kedudukan Undang-Undang lebih tinggi maka sudah seharusnya perda dapat dikesampingkan berdasarkan asas lex superior derogat legi inferiori.

Merupakan suatu kemajuan hukum apabila Hakim mempertimbangkan bahwa perjanjian yang berkaitan dengan perparkiran adalah dikategorikan sebagai perjanjian penitipan.

Akhirnya semoga tulisan ini dapat menambah hasanah pengetahuan hukum kita dan bermanfaat bagi semua. Keep open minds always....dan tetap smangat !!!