Thursday, October 20, 2016
Friday, July 1, 2016
Anti monopoli dan pasar persaingan tidak sehat
Anti monopoli dan pasar persaingan tidak
sehat
Pengertian Antimonopoli dan Persaingan Usaha
“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli”.
“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli”.
Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir
sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah
“monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling
dipertukarkan pemakaiannya.
Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk
menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar
tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya
kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang
lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang
permintaan dan penawaran pasar.
Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah
pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu
sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan
umum.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi
arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau
kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli ).
Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli”
adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang
mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa
tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan
dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Anti Monopoli.
Asas dan Tujuan Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
Kegiatan yang dilarang dalan antimonopoli
Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2. Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya.
Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2. Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya.
Perjanjian yang dilarang dalam Antimonopoli dan
Persaingan Usaha
Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5/199 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis . Hal ini namun masih menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan ”understanding” apakah dapat disebut sebagai perjanjian. Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5/1999 masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut.
Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5/199 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis . Hal ini namun masih menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan ”understanding” apakah dapat disebut sebagai perjanjian. Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5/1999 masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut.
Sebagai perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang
dilarang adalah bukan hanya perjanjian (contract), termasuk tacit agreement
tetapi juga combination dan conspiracy. Jadi cakupannya memang lebih luas dari
hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika tindakan tersebut—collusive
behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang dalam bab IV dari
Undang-Undang Anti Monopoli . Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999
tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebgai berikut :
1. Oligopoli
2. Penetapan harga
3. Pembagian wilayah
4. Pemboikotan
5. Kartel
6. Trust
7. Oligopsonih
8. Integrasi vertikal
9. Perjanjian tertutup
10. Perjanjian dengan pihak luar neger
1. Oligopoli
2. Penetapan harga
3. Pembagian wilayah
4. Pemboikotan
5. Kartel
6. Trust
7. Oligopsonih
8. Integrasi vertikal
9. Perjanjian tertutup
10. Perjanjian dengan pihak luar neger
Hal-hal yang Dikecualikan dalam Monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti
Monopoli adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak
tidak baik untuk persaingan pasar,
yang terdiri dari :
yang terdiri dari :
Oligopoli
Oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
Oligopoli adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
Penetapan Harga.
Dalam rangka penetralisir pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian,antara lain :
• perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang sama.
• Perjanjian yang mengakibatkan pembeli harus membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
• Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar.
• Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan
Dalam rangka penetralisir pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian,antara lain :
• perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar yang sama.
• Perjanjian yang mengakibatkan pembeli harus membayar dengan harga berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
• Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar.
• Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan
Pembagian Wilayah
Mengenai pembagian wilayah, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
Mengenai pembagian wilayah, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan dalam negeri maupun pasar luar negeri.
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan dalam negeri maupun pasar luar negeri.
Kartel
Pelaku usaha dilaarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha persaingnya yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
Trust
Pelaku usaha dilaarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha persaingnya yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan
pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan
perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan
mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan
anggotanya yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa.
Oligopsoni
pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan tujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan.
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan, apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75 % pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan tujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan.
Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan, apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75 % pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Integrasi Vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolahan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolahan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
Perjanjian Tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan dan dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan dan dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2. Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak
baik untuk persaingan pasar, yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
Monopoli
Monopoli adalah situasi pengadaan barang dagangan tertentu (di pasar lokal atau
nasional) sekurang-kurangnya sepertiga dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok sehingga harganya dapat dikendalikan.
Monopoli adalah situasi pengadaan barang dagangan tertentu (di pasar lokal atau
nasional) sekurang-kurangnya sepertiga dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok sehingga harganya dapat dikendalikan.
Monopsoni
Monopsoni adalah keadaan pasar yang tidak seimbang, yang dikuasai oleh seorang pembeli; oligopsoni yang terbatas pada seorang pembeli.
Monopsoni adalah keadaan pasar yang tidak seimbang, yang dikuasai oleh seorang pembeli; oligopsoni yang terbatas pada seorang pembeli.
Penguasaan Pasar
Penguasaan pasar adalah proses, cara, atau perbuatan menguasai pasar. Dengan demikian pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama pelaku usaha lainnya yang mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Penguasaan pasar adalah proses, cara, atau perbuatan menguasai pasar. Dengan demikian pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama pelaku usaha lainnya yang mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Persengkongkolan
Persekongkolan adalah berkomplot atau bersepakat melakukan kejahatan (kecurangan).
3. Posisi dominan, yang meliputi :
• Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
• Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
• Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
• Jabatan rangkap
• Pemilikan saham
• Merger, akuisisi, konsolidasi
Persekongkolan adalah berkomplot atau bersepakat melakukan kejahatan (kecurangan).
3. Posisi dominan, yang meliputi :
• Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
• Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
• Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
• Jabatan rangkap
• Pemilikan saham
• Merger, akuisisi, konsolidasi
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada
UU tersebut :
Perjanjian yang dilarang , yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
Perjanjian yang dilarang , yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
Kegiatan yang dilarang , yaitu melakukan kontrol
produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang
dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Posisi dominan , pelaku usaha yang menyalahgunakan
posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak
konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.
Dalam pembuktian , KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.
Dalam pembuktian , KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut
di masyarakat :
• Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
• Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
• Efisiensi alokasi sumber daya alam
• Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli
• Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
• Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
• Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
• Menciptakan inovasi dalam perusahaan
• Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
• Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
• Efisiensi alokasi sumber daya alam
• Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli
• Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
• Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
• Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
• Menciptakan inovasi dalam perusahaan
Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
(UU no.5 Tahun 1999 tentang anti monopoli)
Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.
Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar
pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan
atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha.
Kegiatan yang dilarang berposisi dominan menurut
pasal 33 ayat 2
Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara.”
Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai oleh negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya.
Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai oleh negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya.
Perjanjian yang dilarang penggabungan, peleburan,
dan pengambil-alihan
– Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan/Badan Usaha lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasivadari Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan beralih karena hukum kepadaPerseroan/Badan Usaha yang menerima Penggabungan dan selanjutnya Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
– Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan/Badan Usaha baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri dan Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
– Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk memperoleh atau mendapatkan baik seluruh atau sebagian saham dan atau aset Perseroan/Badan Usaha. yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan/Badan Usaha tersebut.
– Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan/Badan Usaha lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasivadari Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan beralih karena hukum kepadaPerseroan/Badan Usaha yang menerima Penggabungan dan selanjutnya Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
– Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan/Badan Usaha baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri dan Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
– Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk memperoleh atau mendapatkan baik seluruh atau sebagian saham dan atau aset Perseroan/Badan Usaha. yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan/Badan Usaha tersebut.
Sanksi
Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi adalah dapat berupa penetapan pembatasan perjanjian, pemberhentian integrasi vertikal, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan posisi dominan, penetapan pembatalan atas penggabungan , peleburan dan pengambilalihan badan usaha, penetapan pembayaran ganti rugi, penetapan denda serendah-rendahnya satu miliar rupiah atau setinggi-tingginya dua puluh lima miliar rupiah.
Sanksi administrasi adalah dapat berupa penetapan pembatasan perjanjian, pemberhentian integrasi vertikal, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan posisi dominan, penetapan pembatalan atas penggabungan , peleburan dan pengambilalihan badan usaha, penetapan pembayaran ganti rugi, penetapan denda serendah-rendahnya satu miliar rupiah atau setinggi-tingginya dua puluh lima miliar rupiah.
Sanksi Pidana Pokok dan Tambahan
Sanksi pidana pokok dan tambahan adalah dimungkinkan apabila pelaku usaha melanggar integrasi vertikal, perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan monopoli, melakukan monopsoni, penguasaan pasar, posisi dominan, pemilikan saham, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dikenakan denda minimal dua piluh lima miliar rupiah dan setinggi-tingginya seratus miliar rupiah, sedangkan untuk pelanggaran penetapan harga, perjanjian tertutup, penguasaan pasar dan persekongkolan, jabatan rangkap dikenakan denda minimal lima miliar rupiah dan maksimal dua puluh lima miliar rupiah.
Sementara itu, bagi pelaku usaha yang dianggap melakukan pelanggaran berat dapat dikenakan pidana tambahan sesuai dengan pasal 10 KUH Pidana berupa :
Sanksi pidana pokok dan tambahan adalah dimungkinkan apabila pelaku usaha melanggar integrasi vertikal, perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan monopoli, melakukan monopsoni, penguasaan pasar, posisi dominan, pemilikan saham, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dikenakan denda minimal dua piluh lima miliar rupiah dan setinggi-tingginya seratus miliar rupiah, sedangkan untuk pelanggaran penetapan harga, perjanjian tertutup, penguasaan pasar dan persekongkolan, jabatan rangkap dikenakan denda minimal lima miliar rupiah dan maksimal dua puluh lima miliar rupiah.
Sementara itu, bagi pelaku usaha yang dianggap melakukan pelanggaran berat dapat dikenakan pidana tambahan sesuai dengan pasal 10 KUH Pidana berupa :
pencabutan izin usaha
larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun,
penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun,
penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Sumber : http://rujakcom.blogspot.com/2012/04/anti-monopoli-dan-persaingan-tidak.html
Google.com
Google.com
Ada 12 perusahaan terduga kartel ayam
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah
meningkatkan status dari penyelidikan ke persidangan terkait dugaan
persekongkolan yang dilakukan oleh 12 pelaku usaha atau perusahaan besar dalam
mengatur stok ayam.
KPPU telah menyelesaikan penyelidikan terkait dugaan kartel pengaturan stok ayam yang dilakukan beberapa perusahaan yang bergerak di bidang budi daya ayam," ujar Ketua KPPU-RI Muh Syarkawi Rauf di Makassar, Kamis.
Dugaan pelanggaran dilakukan oleh 12 pelaku usaha yaitu PT Charoen Pokphand Jaya Farm, PT Japfa Comfeed Indonesia, PT Satwa Borneo, PT Wonokoyo Jaya Corp.
Kemudian PT CJ-PIA (Cheil Jedang Superfreed), PT Malindo, PT Taat Indah bersinar, PT Cibadak Indah Sari Farm, CV. Missouri, PT Ekspravet Nasuba, PT Reza Perkasa dan PT Hybro Indonesia.
Syarkawi mengungkapkan, dalam proses penyelidikan yang dilakukan, tim penyelidik telah menemukan alat bukti yang cukup terkait dengan dugaan pelanggaran Pasal 11 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dalam pasal itu berbunyi : pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Menurutnya, hasil penyelidikan telah dilaporkan ke Komisi pada rapat komisi dan komisi menyetujui jika laporan tersebut dilanjutkan ke tahap persidangan.
"Perkara ini merupakan inisiasi KPPU bukan berdasarkan laporan masyarakat. Diawali dengan adanya pemberitaan terkait adanya kesepakatan pengafkiran indukan ayam (Parent Stock) yang dibuat oleh beberapa perusahaan," katanya.
Kesepakatan itu, lanjut Syarkawi, juga diketahui oleh Pemerintah dalam hal Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) yang kemudian oleh KPPU melakukan penyelidikan.
Dalam penyelidikan diketahui harga jual anak ayam yang baru berumur sehari atau DOC mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari harga jual DOC sebelum dilakukan pengafkiran parent stock. Hal ini juga akhirnya berdampak pada naiknya harga daging ayam di pasar.
Selain permasalahan tersebut KPPU juga menemukan adanya klausul dalam kesepakatan yang bersifat diskriminatif yang berpotensi melanggar Pasal 24 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu semua perusahaan yang akan impor bibit harus bergabung dengan GPPU karena ke depan akan dilibatkan dalam penerbitan rekomendasi ekspor/impor.
Kartel daging ayam terendus KPPU dan diduga melibatkan 12 perusahaan peternakan dan Kementan.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menduga adanya tindakan pengaturan produksi ayam sehingga memengaruhi harga pasar. Diduga, hal itu dilakukan oleh 12 perusahaan peternakan besar serta Kementerian Pertanian (Kementan).
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf mengatakan akan melakukan pemanggilan persidangan terhadap 13 pihak tersebut pada dua pekan mendatang. Semua dokumen maupun dalil telah disiapkan guna membuktikan adanya persekongkolan.
“Berdasarkan rapat Komisi, kami memutuskan untuk memperkarakan seluruh pihak tersebut dalam dugaan adanya kartel di industri daging ayam,” kata Syarkawi kepada Bisnis/JIBI, Rabu (3/2/2016).
KPPU telah menyelesaikan penyelidikan terkait dugaan kartel pengaturan stok ayam yang dilakukan beberapa perusahaan yang bergerak di bidang budi daya ayam," ujar Ketua KPPU-RI Muh Syarkawi Rauf di Makassar, Kamis.
Dugaan pelanggaran dilakukan oleh 12 pelaku usaha yaitu PT Charoen Pokphand Jaya Farm, PT Japfa Comfeed Indonesia, PT Satwa Borneo, PT Wonokoyo Jaya Corp.
Kemudian PT CJ-PIA (Cheil Jedang Superfreed), PT Malindo, PT Taat Indah bersinar, PT Cibadak Indah Sari Farm, CV. Missouri, PT Ekspravet Nasuba, PT Reza Perkasa dan PT Hybro Indonesia.
Syarkawi mengungkapkan, dalam proses penyelidikan yang dilakukan, tim penyelidik telah menemukan alat bukti yang cukup terkait dengan dugaan pelanggaran Pasal 11 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dalam pasal itu berbunyi : pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Menurutnya, hasil penyelidikan telah dilaporkan ke Komisi pada rapat komisi dan komisi menyetujui jika laporan tersebut dilanjutkan ke tahap persidangan.
"Perkara ini merupakan inisiasi KPPU bukan berdasarkan laporan masyarakat. Diawali dengan adanya pemberitaan terkait adanya kesepakatan pengafkiran indukan ayam (Parent Stock) yang dibuat oleh beberapa perusahaan," katanya.
Kesepakatan itu, lanjut Syarkawi, juga diketahui oleh Pemerintah dalam hal Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) yang kemudian oleh KPPU melakukan penyelidikan.
Dalam penyelidikan diketahui harga jual anak ayam yang baru berumur sehari atau DOC mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari harga jual DOC sebelum dilakukan pengafkiran parent stock. Hal ini juga akhirnya berdampak pada naiknya harga daging ayam di pasar.
Selain permasalahan tersebut KPPU juga menemukan adanya klausul dalam kesepakatan yang bersifat diskriminatif yang berpotensi melanggar Pasal 24 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu semua perusahaan yang akan impor bibit harus bergabung dengan GPPU karena ke depan akan dilibatkan dalam penerbitan rekomendasi ekspor/impor.
Kartel daging ayam terendus KPPU dan diduga melibatkan 12 perusahaan peternakan dan Kementan.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menduga adanya tindakan pengaturan produksi ayam sehingga memengaruhi harga pasar. Diduga, hal itu dilakukan oleh 12 perusahaan peternakan besar serta Kementerian Pertanian (Kementan).
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf mengatakan akan melakukan pemanggilan persidangan terhadap 13 pihak tersebut pada dua pekan mendatang. Semua dokumen maupun dalil telah disiapkan guna membuktikan adanya persekongkolan.
“Berdasarkan rapat Komisi, kami memutuskan untuk memperkarakan seluruh pihak tersebut dalam dugaan adanya kartel di industri daging ayam,” kata Syarkawi kepada Bisnis/JIBI, Rabu (3/2/2016).
Dia menambahkan mereka diduga melanggar Pasal 11 UU
No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Baik swasta maupun pemerintah telah mengatur produksi dan pasokan di pasar
sehingga mengakibatkan adanya kenaikan harga daging ayam.
Pasal tersebut berbunyi pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Proses penyelidikan, lanjutnya, sudah dilakukan sejak beberapa bulan lalu. Otoritas persaingan usaha sudah mengumpulkan bukti seperti dokumen-dokumen perjanjian antar pelaku usaha, serta dilengkapi dengan keterangan saksi fakta dan saksi ahli.
Syarkawi enggan menyebutkan nama 12 perusahaan peternakan besar tersebut, tetapi membenarkan pemanggilan terhadap PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. dan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk. Adapun, pihak Kementan yang dipanggil yakni Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH).
Dia berpendapat 12 perusahaan tersebut menguasai sekitar 90% pasar daging ayam yang beredar dan memiliki bisnis terintegrasi dari hulu hingga hilir, seperti pakan ternak, anak ayam usia sehari (day old chicken/DOC), obat, hingga produk olahannya.
Temuan pelanggaran yang dihimpun oleh tim investigator yakni menahan pasokan ayam sehingga harga daging ayam melambung tinggi dan afkir dini atau pemusnahan pada induk ayam (parent stock/PS) untuk menaikkan harga DOC. Selain itu, terdapat persekongkolan untuk mematikan pelaku usaha kecil dengan menggelontorkan pasokan secara bersama-sama sehingga harga ayam anjlok.
Komisi juga mengundang Ditjen PKH dalam perkara tersebut terkait dengan ?kebijakan pengafkiran dini atau pemusnahan PS. Adapun, target pemusnahan yang dipatok sebesar 6 juta ekor.
Kebijakan tersebut, lanjutnya, menimbulkan kerugian bagi peternak. Kerugian tersebut berasal dari biaya pemeliharaan, pembersihan kandang, tenaga kerja, dan waktu yang dibutuhkan untuk membiakkan PS.
Padahal, sebesar 80% peternak di Indonesia telah terintegrasi pada perusahaan peternakan besar. Adapun, sisanya yang disebut peternak mandiri juga masih membutuhkan pasokan pakan maupun anak ayam (day old chicken/DOC) dari perusahaan besar tersebut.
Pasal tersebut berbunyi pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Proses penyelidikan, lanjutnya, sudah dilakukan sejak beberapa bulan lalu. Otoritas persaingan usaha sudah mengumpulkan bukti seperti dokumen-dokumen perjanjian antar pelaku usaha, serta dilengkapi dengan keterangan saksi fakta dan saksi ahli.
Syarkawi enggan menyebutkan nama 12 perusahaan peternakan besar tersebut, tetapi membenarkan pemanggilan terhadap PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. dan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk. Adapun, pihak Kementan yang dipanggil yakni Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH).
Dia berpendapat 12 perusahaan tersebut menguasai sekitar 90% pasar daging ayam yang beredar dan memiliki bisnis terintegrasi dari hulu hingga hilir, seperti pakan ternak, anak ayam usia sehari (day old chicken/DOC), obat, hingga produk olahannya.
Temuan pelanggaran yang dihimpun oleh tim investigator yakni menahan pasokan ayam sehingga harga daging ayam melambung tinggi dan afkir dini atau pemusnahan pada induk ayam (parent stock/PS) untuk menaikkan harga DOC. Selain itu, terdapat persekongkolan untuk mematikan pelaku usaha kecil dengan menggelontorkan pasokan secara bersama-sama sehingga harga ayam anjlok.
Komisi juga mengundang Ditjen PKH dalam perkara tersebut terkait dengan ?kebijakan pengafkiran dini atau pemusnahan PS. Adapun, target pemusnahan yang dipatok sebesar 6 juta ekor.
Kebijakan tersebut, lanjutnya, menimbulkan kerugian bagi peternak. Kerugian tersebut berasal dari biaya pemeliharaan, pembersihan kandang, tenaga kerja, dan waktu yang dibutuhkan untuk membiakkan PS.
Padahal, sebesar 80% peternak di Indonesia telah terintegrasi pada perusahaan peternakan besar. Adapun, sisanya yang disebut peternak mandiri juga masih membutuhkan pasokan pakan maupun anak ayam (day old chicken/DOC) dari perusahaan besar tersebut.
Pihaknya telah meminta tim hukum Ditjen PKH untuk segera menyiapkan dasar hukum berbentuk regulasi yang mengatur proses pengafkiran tersebut. Hingga saat ini, pengafkiran dini telah dilaksanakan pada lebih dari 3 juta ekor PS.
Secara terpisah, Sekretaris Perusahaan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk. Hardijanto Kartika mengaku belum mengetahui adanya surat pemanggilan tersebut. “Saya belum cek, nanti akan ditanyakan ke direksi,” kata Hardijanto melalui pe
Sunday, May 15, 2016
PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN CONTOH KASUS
HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
1. Hak-hak konsumen
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
· Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
· Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan .
· Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
· Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
· Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
· Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
· Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
· Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
· Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang.
Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan terminologi ” persaingan curang”.Di Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP.
Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi konsumen, bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya.
2. Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen,
Kewajiban Konsumen adalah :
· Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
· Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
· Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
· Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA
1. Hak Pelaku Usaha
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
· Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
· Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
· Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
· Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
· Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
2. Kewajiban Pelaku Usaha
Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
· Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
· Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
· Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
· Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
· Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
· Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
· Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
1. larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2. larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3. larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
· Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
· Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
· Bekas: sudah pernah dipakai.
· Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi).
Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
· Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan
· Cacat barang timbul pada kemudian hari.
· Cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.
· Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.
Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan
SANKSI BAGI PELAKU USAHA
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Sanksi Perdata :
Ganti rugi dalam bentuk :
-Pengembalian uang atau
-Penggantian barang atau
-Perawatan kesehatan, dan/atau
-Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
Kurungan :
-Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
-Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
* Hukuman tambahan , antara lain :
o Pengumuman keputusan Hakim
o Pencabuttan izin usaha.
o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa.
o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa.
o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
CONTOH KASUS
sengketa perlindungan konsumen antara T. Imelda Wijaya melawan PT. Anugrah Bina Karya. Sengketa tersebut juga telah berkekuatan hukum tetap sehingga bisa digunakan sebagai acuan. Pada kasus ini hal pokok yang diangkat adalah tentang adanya Klausula Baku yang tercetak di karcis parkir.
Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen[1].
Dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ketentuan pencantuman klausula baku diatur secara rinci pada pasal 18, yang menyebutkan bahwa :
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
Sebenarnya pencantuman klausula baku dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak dilarang, sepanjang tidak menyalahi aturan pencantuman klausula baku yang diatur pada pasal 18. Ketentuan tersebut dibuat dalam kerangka untuk melindungi konsumen yang masuk dalam kategori pihak lemah dari tindakan pelaku usaha (korporasi)[2].
Klausula baku bila dicermati merupakan perjanjian sepihak yang seringkali merugikan konsumen dan menempatkan konsumen pada posisi tawar (bargaining position) yang lemah. Jika dilihat dari hukum perjanjian Indonesia, pada dasarnya syarat sah suatu perjanjian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) adalah sebagai berikut :
a. adanya kesepakatan;
b. cakap;
c. atas suatu hal tertentu; dan
d. dikarenakan suatu sebab yang halal.
Selain itu berdasarkan pasal 1338 ayat 3 BW disebutkan pula bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sedangkan klausula baku seringkali tidak memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian seperti yang diuraikan diatas. Adanya klausula baku dalam bukti transaksi mengindikasikan bahwa pelaku usaha tidak beritikad baik untuk melindungi hak-hak konsumen dengan berusaha untuk melepas segala tanggung jawab setelah transaksi dan itikad baik pelaku usaha ukurannya bisa menjadi sangat subyektif.
Pencantuman klausula baku eksonerasi tidak dapat menghilangkan hak konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi daripada pelaku usaha yang telah membuat klausula baku eksonerasi[3]. Jika permintaan yang diajukan konsumen tidak mendapatkan tanggapan yang layak dari pihak-pihak terkait maka konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum baik melalui Pengadilan maupun luar Pengadilan oleh BPSK. Para pelaku usaha yang masih mencantumkan klausula baku eksonerasi dapat dikenai sanksi perdata bahwa perjanjian standart tersebut batal demi hukum dan pelaku usaha wajib merevisi agar sesuai dengan pasal 18 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Klausula Baku Pada Kartu Parkir PT. Anugrah Bina Karya
Salah satu bentuk klausula baku yang dilarang dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah Pengalihan tanggung jawab dari pelaku usaha kepada konsumen. Pada Kartu parkir yang dibuat oleh PT. Anugrah Bina Karya tercantum klausul bahwa Pengelola Parkir / PT. Anugrah Bina Karya / Tergugat tidak bertanggung jawab terhadap hilangnya barang dan kendaraan pemakai parkir, dalam hal ini adalah Penggugat. Selain itu aturan tersebut telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh Tergugat selaku pelaku usaha jasa parkir dan dituangkan dalam kartu parkir yang berlaku mengikat dan wajib dipenuhi oleh Penggugat sebagai konsumen jasa parkir.
Berdasarkan fakta hukum tersebut, maka klausula yang tercantum dalam kartu parkir tersebut dapat dikategorikan sebagai klausula baku yang dilarang sebagaimana ketentuan pasal 18 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999. Disamping itu kesepakatan sepihak yang dilakukan oleh Tergugat dengan mencantumkan klausula baku juga melanggar asas-asas umum perjanjian yang berlaku secara universal. Asas-asas tersebut terdapat baik secara eksplisit maupun dalam sifatnya yang implisit dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan, yaitu :
a. Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi), dimana para pihak bebas menentukan isi serta persyaratan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, baik ketentuan umum maupun perundang-undangan.
b. Asas konsensualisme (persesuaian kehendak). Yaitu timbulnya berdasarkan perjumpaan atau persesuaian kehendak, tanpa terikat dengan bentuk formalitas tertentu
c. Asas kepercayaan
d. Asas kekuatan mengikat, yang akan mengikat bagi para pihak, tidak saja untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan tetapi juga untuk yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh suatu kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang
e. Asas persamaan hukum
f. Asas keseimbangan, yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian secara berimbang dan adil
g. Asas kepastian hukum
h. Asas moral
i. Asas kepatutan
j. Asas kebiasaan
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti[4]. Selain itu berdasarkan pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan pula bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Pemasalahan selanjutnya adalah seberapa besar tanggung jawab Tergugat terhadap hilangnya mobil dan barang-barang Penggugat yang masih berada dalam areal parkir yang dikelola oleh Tergugat.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga telah diatur mengenai ganti rugi apabila pelaku usaha melakukan cidera janji atau wanprestasi. Disebutkan bahwa pelaku usaha juga berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan oleh konsumen tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Dalam pertimbangan hukumnya, hakim mengkualifisir perjanjian antara Tergugat (pengelola parkir) dengan Penggugat (konsumen) sebagai perjanjian penitipan. Sehingga Tergugat harus bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan kendaraan milik Penggugat. Menurut hakim, bisnis perparkiran tidak sekedar bisnis penyedia jasa, melainkan bisnis yang menjanjikan keuntungan besar bagi pengelola parkir. Karenanya itu maka di sisi lain jaminan perlindungan hukum kepada konsumen parkir juga harus lebih diseimbangkan.
Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, terbukti bahwa Tergugat telah membiarkan kendaraan Penggugat di bawa keluar areal parkir oleh orang lain tanpa menggunakan kartu parkir atau Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana lazimnya jika kartu parkir hilang. Artinya, sikap ketidaktelitian dan ketidakhati-hatian Tergugat telah membuat Tergugat melanggar kewajiban hukumnya untuk menjamin keamanan kendaraan milik Pengguat. Menurut Hakim, perbuatan melawan kewajiban hukumnya sendiri juga merupakan perbuatan melawan hukum atau onrechtmatigedaad.
Dengan demikian, karena Tergugat telah nyata-nyata melakukan wanprestasi sehingga menimbulkan kerugian pada Penggugat, maka adalah adil jika Tergugat harus memberikan ganti rugi kepada Penggugat. Hal ini merupakan tanggung jawab Tergugat dalam memenuhi asas keseimbangan dalam perikatan. Meskipun Penggugat sudah memperoleh ganti kerugian dari klaim asuransi.
Berdasarkan ulasan tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Klausula yang tercantum dalam kartu parkir yang dikelola oleh PT. Anugrah Bina Karya adalah merupakan klausula baku yang termasuk dilarang oleh Undang-Undang Perlindungan konsumen, sehingga klausula tersebut batal demi hukum.
Perjanjian antara Tergugat (pengelola parkir) dengan Penggugat (konsumen) adalah perjanjian penitipan. Sehingga Tergugat harus bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan kendaraan milik Penggugat.
Oleh karena terbukti bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi dan menimbulkan kerugian pada Penggugat, maka Tergugat harus memberikan ganti rugi kepada Penggugat.
Sebagai catatan tambahan, ada beberapa perda yang bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen berkaitan dengan Klausula Baku, khususnya mengenai tanggung jawab pengelola parkir. Akan tetapi karena kedudukan Undang-Undang lebih tinggi maka sudah seharusnya perda dapat dikesampingkan berdasarkan asas lex superior derogat legi inferiori.
Merupakan suatu kemajuan hukum apabila Hakim mempertimbangkan bahwa perjanjian yang berkaitan dengan perparkiran adalah dikategorikan sebagai perjanjian penitipan.
Akhirnya semoga tulisan ini dapat menambah hasanah pengetahuan hukum kita dan bermanfaat bagi semua. Keep open minds always....dan tetap smangat !!!
1. Hak-hak konsumen
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai berikut :
· Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
· Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan .
· Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
· Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
· Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
· Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
· Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
· Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
· Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang.
Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan terminologi ” persaingan curang”.Di Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP.
Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi konsumen, bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya.
2. Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen,
Kewajiban Konsumen adalah :
· Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
· Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
· Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
· Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA
1. Hak Pelaku Usaha
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
· Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
· Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
· Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
· Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
· Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
2. Kewajiban Pelaku Usaha
Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
· Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
· Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
· Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
· Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
· Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
· Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
· Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
1. larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2. larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3. larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
- Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
- Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
- Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
- Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
- Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
- Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
- Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.
- Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.
- Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
- (2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
- (3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
· Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
· Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
· Bekas: sudah pernah dipakai.
· Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi).
Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:
- (4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
· Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan
· Cacat barang timbul pada kemudian hari.
· Cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.
· Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.
Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan
SANKSI BAGI PELAKU USAHA
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Sanksi Perdata :
Ganti rugi dalam bentuk :
-Pengembalian uang atau
-Penggantian barang atau
-Perawatan kesehatan, dan/atau
-Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
Kurungan :
-Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
-Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
* Hukuman tambahan , antara lain :
o Pengumuman keputusan Hakim
o Pencabuttan izin usaha.
o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa.
o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa.
o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
CONTOH KASUS
sengketa perlindungan konsumen antara T. Imelda Wijaya melawan PT. Anugrah Bina Karya. Sengketa tersebut juga telah berkekuatan hukum tetap sehingga bisa digunakan sebagai acuan. Pada kasus ini hal pokok yang diangkat adalah tentang adanya Klausula Baku yang tercetak di karcis parkir.
Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen[1].
Dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ketentuan pencantuman klausula baku diatur secara rinci pada pasal 18, yang menyebutkan bahwa :
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
Sebenarnya pencantuman klausula baku dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak dilarang, sepanjang tidak menyalahi aturan pencantuman klausula baku yang diatur pada pasal 18. Ketentuan tersebut dibuat dalam kerangka untuk melindungi konsumen yang masuk dalam kategori pihak lemah dari tindakan pelaku usaha (korporasi)[2].
Klausula baku bila dicermati merupakan perjanjian sepihak yang seringkali merugikan konsumen dan menempatkan konsumen pada posisi tawar (bargaining position) yang lemah. Jika dilihat dari hukum perjanjian Indonesia, pada dasarnya syarat sah suatu perjanjian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) adalah sebagai berikut :
a. adanya kesepakatan;
b. cakap;
c. atas suatu hal tertentu; dan
d. dikarenakan suatu sebab yang halal.
Selain itu berdasarkan pasal 1338 ayat 3 BW disebutkan pula bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sedangkan klausula baku seringkali tidak memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian seperti yang diuraikan diatas. Adanya klausula baku dalam bukti transaksi mengindikasikan bahwa pelaku usaha tidak beritikad baik untuk melindungi hak-hak konsumen dengan berusaha untuk melepas segala tanggung jawab setelah transaksi dan itikad baik pelaku usaha ukurannya bisa menjadi sangat subyektif.
Pencantuman klausula baku eksonerasi tidak dapat menghilangkan hak konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi daripada pelaku usaha yang telah membuat klausula baku eksonerasi[3]. Jika permintaan yang diajukan konsumen tidak mendapatkan tanggapan yang layak dari pihak-pihak terkait maka konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum baik melalui Pengadilan maupun luar Pengadilan oleh BPSK. Para pelaku usaha yang masih mencantumkan klausula baku eksonerasi dapat dikenai sanksi perdata bahwa perjanjian standart tersebut batal demi hukum dan pelaku usaha wajib merevisi agar sesuai dengan pasal 18 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Klausula Baku Pada Kartu Parkir PT. Anugrah Bina Karya
Salah satu bentuk klausula baku yang dilarang dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah Pengalihan tanggung jawab dari pelaku usaha kepada konsumen. Pada Kartu parkir yang dibuat oleh PT. Anugrah Bina Karya tercantum klausul bahwa Pengelola Parkir / PT. Anugrah Bina Karya / Tergugat tidak bertanggung jawab terhadap hilangnya barang dan kendaraan pemakai parkir, dalam hal ini adalah Penggugat. Selain itu aturan tersebut telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh Tergugat selaku pelaku usaha jasa parkir dan dituangkan dalam kartu parkir yang berlaku mengikat dan wajib dipenuhi oleh Penggugat sebagai konsumen jasa parkir.
Berdasarkan fakta hukum tersebut, maka klausula yang tercantum dalam kartu parkir tersebut dapat dikategorikan sebagai klausula baku yang dilarang sebagaimana ketentuan pasal 18 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999. Disamping itu kesepakatan sepihak yang dilakukan oleh Tergugat dengan mencantumkan klausula baku juga melanggar asas-asas umum perjanjian yang berlaku secara universal. Asas-asas tersebut terdapat baik secara eksplisit maupun dalam sifatnya yang implisit dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan, yaitu :
a. Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi), dimana para pihak bebas menentukan isi serta persyaratan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa, baik ketentuan umum maupun perundang-undangan.
b. Asas konsensualisme (persesuaian kehendak). Yaitu timbulnya berdasarkan perjumpaan atau persesuaian kehendak, tanpa terikat dengan bentuk formalitas tertentu
c. Asas kepercayaan
d. Asas kekuatan mengikat, yang akan mengikat bagi para pihak, tidak saja untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan tetapi juga untuk yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh suatu kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang
e. Asas persamaan hukum
f. Asas keseimbangan, yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian secara berimbang dan adil
g. Asas kepastian hukum
h. Asas moral
i. Asas kepatutan
j. Asas kebiasaan
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti[4]. Selain itu berdasarkan pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan pula bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Pemasalahan selanjutnya adalah seberapa besar tanggung jawab Tergugat terhadap hilangnya mobil dan barang-barang Penggugat yang masih berada dalam areal parkir yang dikelola oleh Tergugat.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga telah diatur mengenai ganti rugi apabila pelaku usaha melakukan cidera janji atau wanprestasi. Disebutkan bahwa pelaku usaha juga berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan oleh konsumen tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Dalam pertimbangan hukumnya, hakim mengkualifisir perjanjian antara Tergugat (pengelola parkir) dengan Penggugat (konsumen) sebagai perjanjian penitipan. Sehingga Tergugat harus bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan kendaraan milik Penggugat. Menurut hakim, bisnis perparkiran tidak sekedar bisnis penyedia jasa, melainkan bisnis yang menjanjikan keuntungan besar bagi pengelola parkir. Karenanya itu maka di sisi lain jaminan perlindungan hukum kepada konsumen parkir juga harus lebih diseimbangkan.
Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, terbukti bahwa Tergugat telah membiarkan kendaraan Penggugat di bawa keluar areal parkir oleh orang lain tanpa menggunakan kartu parkir atau Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sebagaimana lazimnya jika kartu parkir hilang. Artinya, sikap ketidaktelitian dan ketidakhati-hatian Tergugat telah membuat Tergugat melanggar kewajiban hukumnya untuk menjamin keamanan kendaraan milik Pengguat. Menurut Hakim, perbuatan melawan kewajiban hukumnya sendiri juga merupakan perbuatan melawan hukum atau onrechtmatigedaad.
Dengan demikian, karena Tergugat telah nyata-nyata melakukan wanprestasi sehingga menimbulkan kerugian pada Penggugat, maka adalah adil jika Tergugat harus memberikan ganti rugi kepada Penggugat. Hal ini merupakan tanggung jawab Tergugat dalam memenuhi asas keseimbangan dalam perikatan. Meskipun Penggugat sudah memperoleh ganti kerugian dari klaim asuransi.
Berdasarkan ulasan tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Klausula yang tercantum dalam kartu parkir yang dikelola oleh PT. Anugrah Bina Karya adalah merupakan klausula baku yang termasuk dilarang oleh Undang-Undang Perlindungan konsumen, sehingga klausula tersebut batal demi hukum.
Perjanjian antara Tergugat (pengelola parkir) dengan Penggugat (konsumen) adalah perjanjian penitipan. Sehingga Tergugat harus bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan kendaraan milik Penggugat.
Oleh karena terbukti bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi dan menimbulkan kerugian pada Penggugat, maka Tergugat harus memberikan ganti rugi kepada Penggugat.
Sebagai catatan tambahan, ada beberapa perda yang bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen berkaitan dengan Klausula Baku, khususnya mengenai tanggung jawab pengelola parkir. Akan tetapi karena kedudukan Undang-Undang lebih tinggi maka sudah seharusnya perda dapat dikesampingkan berdasarkan asas lex superior derogat legi inferiori.
Merupakan suatu kemajuan hukum apabila Hakim mempertimbangkan bahwa perjanjian yang berkaitan dengan perparkiran adalah dikategorikan sebagai perjanjian penitipan.
Akhirnya semoga tulisan ini dapat menambah hasanah pengetahuan hukum kita dan bermanfaat bagi semua. Keep open minds always....dan tetap smangat !!!
Saturday, April 9, 2016
SURAT PERJANJIAN PEMBORONGAN
SURAT
PERJANJIAN PEMBORONGAN
Nomor
: 123 / MA / XII / 2016
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama :
Ihsan Ananda
Alamat :
Jln.MASJID AL-FARUQ,No.29B,RT.03,RW.01,Kecamatan Beji,Kota Depok
Pekerjaan :
Direktur PT.Data.com
Untuk selanjutnya disebut pihak pertama, dan
Nama :
Isyal Syehab Cihandudi
Alamat :
jln. Kampong melayu kecil 3 no.38, RT.010,RW.09, kecamatan
Pekerjaan :
Direktur PT.Cihandudi
Untuk selanjutnya disebut pihak kedua
Kedua belah pihak dengan ini sepakat untuk
melaksanakan tender proyek pembangunan dengan ketentuan sebagai berikut :
Pasal
1
Pelaksanaan kesepakatan ini diadakan untuk jangka
waktu 2 bulan terhitung mulai tanggal 17 Desember 2016 hingga 17 Februari 2017
. Apabila pekerjaan tidak selesai tepat waktu,maka pihak kedua bersedia
memberikan ganti rugi berupa penyelesaian pekerjaan tanpa biaya tambahan.
Pasal
2
Pelaksanaan tender ini meliputi pemasangan rangka
atap baja ringan kanal C serta pemasangan atap mahaline dengan harga
masing-masing Rp.190.000,00 (Seratus Sembilan Puluh Ribu Rupiah)/ dan Rp.90.000,00 (Sembilan Puluh Ribu Rupiah)/ untuk pembangunan rumah di Jln.Mangrove
Selatan No.66,Cipanas, seluas 300
Pasal
3
Pihak kedua dilarang untuk memindahtangankan pekerjaan ini
kepada pihak ketiga tanpa izin dari pihak pertama. Apabila hal ini dilanggar
maka hubungan kerjasama ini dianggap berakhir.
Pasal
4
Kedua belah pihak telah memilih tempat kediaman hukum (domisili)
yang tetap dan umum tentang segala akibat yang mungkin timbul dari surat
kesepakatan tender ini di kantor Pengadilan Negeri Jakarta.
Pasal
Penutup
Demikian surat kesepakatan tender ini dibuat dan ditandatangani
dalam rangkap dua,yang keduanya memiliki kekuatan hukum yang sama.
Jakarta,12 Desember 2016
Pihak Pertama Pihak Kedua
Ihsan Ananda Isyal
Syehab Cihandudi
Saksi-Saksi
1. Akmal Haris J
2. Christ Mangampu
Friday, March 18, 2016
PENGERTIAN ,OBJEK DAN SUBJEK HUKUM DALAM EKONOMI
1.PENGERTIAN HUKUM EKONOMI
Pengertian hokum ekonomi bisa didefinisikan dari berbagai sudut pandang.Ada menurut para ahli ada pula menurut pandagan kelompok. Jika menurut para ahli seperti :
- Senaryati Hartono Hukum Ekonomi adalah seluruh kaidah ataupun putusan hokum yang ditulis secara khusus untuk mengatur berbagai macam kehidupan dan kegiatan ekonomi yang berada di Indonesia
- Rochmat Soemitro Hukum tersebut merupakan sebagian dari norma yang dibuat oleh pemerintah ataupun penguasa sebagai sebuah personifikasi dari masyarakat yang mengatur tentang kehidupan kepentingan perekonomian masyarakat yang saling berhadapan.
- Soedarto pengertia Hukum Ekonomi adalah peraturan yang secara khusus dibuat oleh pemerintah ataupun badan pemerintah baik secara langsung maupun secara tidak langsung.Tujuanya untuk mempengaruhi perbandingan ekonomi yang berada dipasar-pasar,dan terwujud didalam perundangan perekonomian. Di dalam perundagan tersebut di atur pula kehidupan ekonomi sebuah Negara, termasuk rakyat yang berada didalamnya.
Dari pengertian Hukum Ekonomi yang telah disampaikan oleh pakar-pakar tersebut dapat disimpulkan inti dari Hukum Ekonomi ini adalah seluruh kaidah hukum yang mempengaruhi dan mengatur segala hal yang mempunyai keterkaitan dengan kehidupan perekonomian nasional sebuah negara,entah kaidah hukum yang sifatnya privat ataupun publik baik secara tertulis ataupun tidak tetulis
Setelah kita mengetahui pengertian Hukum Ekonomi tersebut,lantas apa saja contoh Hukum Ekonomi tersebut ...?
- Contohnya seperti bila harga sembako mengalami kenaikan,harga barang lainya juga akan naik drastis.
- Contoh kedua seperti bila nilai dollar Amerika mengalami kenaikan,makan akan banyak sekali perusahaan yang pemodalnya berasal dari luar negeri akan mengalami kebangkrutan
- Contoh selanjutnya seperti semakin tinggi bunga bank tabungan,jumlah uang yang beredar dipasar akan semakin menurun,dan akan terjadi penurunan permintaan barang.
2.OBJEK HUKUM DALAM EKONOMI
Obyek hukum menurut pasal 499 KUH Perdata, yaitu Benda.
Benda adalah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum atau segala sesuatu yang menjadi pokok permasalahan dan kepentingan bagi para subyek hukum atau segala sesuatu yang dapat menjadi obyek hak milik.
Kemudian berdasarkan pasal 503-504 KUH Perdata disebutkan bahwa benda dapat dibagi menjadi 2, yakni :
- benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen),
- benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriekegoderan)
2.1.Benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen)
Benda yang bersifat kebendaan (Materiekegoderen) adalah suatu benda yang sifatnya dapat dilihat, diraba, dirasakan dengan panca indera, terdiri dari benda berubah / berwujud, meliputi :
- Benda bergerak / tidak tetap, berupa benda yang dapat dihabiskan dan benda yang tidak dapat dihabiskan.
Dibedakan menjadi sebagai berikut :
- Benda bergerak karena sifatnya, menurut pasal 509 KUH Perdata adalah benda yang dapat dipindahkan, misalnya meja, kursi, dan yang dapat berpindah sendiri contohnya ternak. Benda bergerak karena ketentuan undang-undang, menurut pasal 511 KUH Perdata adalah hak-hak atas benda bergerak, misalnya hak memungut hasil (Uruchtgebruik) atas benda-benda bergerak, hak pakai (Gebruik) atas benda bergerak, dan saham-saham perseroan terbatas.
- Benda tidak bergerak Benda tidak bergerak dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :
- Benda tidak bergerak karena sifatnya, yakni tanah dan segala sesuatu yang melekat diatasnya, misalnya pohon, tumbuh-tumbuhan, area, dan patung.
- Benda tidak bergerak karena tujuannya,yakni mesin alat-alat yang dipakai dalam pabrik. Mesin senebar benda bergerak, tetapi yang oleh pemakainya dihubungkan atau dikaitkan pada bergerak yang merupakan benda pokok.
- Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang, ini berwujud hak-hak atas benda-benda yang tidak bergerak misalnya hak memungut hasil atas benda yang tidak dapat bergerak, hak pakai atas benda tidak bergerak dan hipotik.
- Pemilikan (Bezit) yakni dalam hal benda bergerak berlaku azas yang tercantum dalam pasal 1977 KUH Perdata, yaitu berzitter dari barang bergerak adalah pemilik (eigenaar) dari barang tersebut. Sedangkan untuk barang tidak bergerak tidak demikian halnya.
- Penyerahan (Levering) yakni terhadap benda bergerak dapat dilakukan penyerahan secara nyata (hand by hand) atau dari tangan ke tangan, sedangkan untuk benda tidak bergerak dilakukan balik nama.
- Daluwarsa (Verjaring) yakni untuk benda-benda bergerak tidak mengenal daluwarsa, sebab bezitdi sini sama dengan pemilikan (eigendom) atas benda bergerak tersebut sedangkan untuk benda-benda tidak bergerak mengenal adanya daluwarsa.
- Pembebanan (Bezwaring) yakni tehadap benda bergerak dilakukan pand (gadai, fidusia) sedangkan untuk benda tidak bergerak dengan hipotik adalah hak tanggungan untuk tanah serta benda-benda selain tanah digunakan fidusia.
Benda yang bersifat tidak kebendaan (Immateriegoderen) adalah suatu benda yang dirasakan oleh panca indera saja (tidak dapat dilihat) dan kemudian dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan, contohnya merk perusahaan, paten, dan ciptaan musik / lagu.
3.SUBJEK HUKUM DALAM EKONOMI
Jenis Subyek Hukum
Subyek hukum terdiri dari dua jenis yaitu
- manusia biasa dan
- badan hukum.
- Manusia Biasa
- Cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang dewasa menurut hukum (telah berusia 21 tahun dan berakal sehat).
- Tidak cakap melakukan perbuatan hukum berdasarkan pasal 1330 KUH perdata tentang orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah :
- Orang-orang yang belum dewasa (belum mencapai usia 21 tahun).
- Orang ditaruh dibawah pengampuan (curatele) yang terjadi karena gangguan jiwa pemabuk atau pemboros.
- Orang wanita dalm perkawinan yang berstatus sebagai istri.
- Badan Hukum
Misalnya suatu perkumpulan dapat dimintakan pengesahan sebagai badan hukum dengan cara :
Badan hukum dibedakan dalam 2 bentuk yaitu :
- Didirikan dengan akta notaris.
- Didaftarkan di kantor Panitera Pengadilan Negara setempat.
- Dimintakan pengesahan Anggaran Dasar (AD) kepada Menteri Kehakiman dan HAM, sedangkan khusus untuk badan hukum dana pensiun pengesahan anggaran dasarnya dilakukan Menteri Keuangan.
- Diumumkan dalam berita Negara Republik Indonesia.
Badan hukum dibedakan dalam 2 bentuk yaitu :
- Badan Hukum Publik (Publiek Rechts Persoon) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan publik untuk yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya. Dengan demikian badan hukum publik merupakan badan hukum negara yang dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan secara fungsional oleh eksekutif (Pemerintah) atau badan pengurus yang diberikan tugas untuk itu, seperti Negara Republik Indonesia, Pemerintah Daerah tingkat I dan II, Bank Indonesia dan Perusahaan Negara.
- Badan Hukum Privat (Privat Recths Persoon) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan banyak orang di dalam badan hukum itu. Dengan demikian badan hukum privat merupakan badan hukum swasta yang didirikan orang untuk tujuan tertentu yakni keuntungan, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain menurut hukum yang berlaku secara sah misalnya perseroan terbatas, koperasi, yayasan, badan amal.
REFERENSI
- BUKU HUKUM DAN EKONOMI KARANGAN ELSI KARTIKA SARI,SH.,M.H & ADVENDI SIMANGUNSONG, S.H.,M.M
- WWW.WIKIPEDIA.COM
Subscribe to:
Posts (Atom)